Selasa, 23 Mei 2023

Umar bin khattab dan nenek tua

 Pada suatu hari Khalifah Umar Al-Khatab baru saja pulang dari silaturahmi ke negeri Syiria. Seperti biasa Saiyidina Umar akan berjalan-jalan dan meninjau sekitar kawasan untuk melihat keadaan rakyat jelata untuk mengetahui sendiri akan penderitaan mereka. Pada kali ini Saiyidina Umar menuju ke sebuah pondok buruk yang didiami oleh seorang nenek tua.

 

Saiyidina Umar pergi ke rumah nenek tersebut dengan menyamar sebagai orang biasa. Sudah menjadi kebiasaan Khalifah Umar menyamar menjadi orang awam karena beliau ingin melihat sendiri akan penderitaan yang di alami oleh rakyatnya dan ingin mendapat maklumat atau pandangan rakyat terhadapnya.

 

Ketika tiba di rumah nenek tersebut Khalifah memberi salam dan berkata. “Pernahkah nenek mendengar berita tentang Umar?”. jawab nenek tua itu “Kabarnya Umar baru saja pulang dari Syiria dengan selamat”. Kata khalifah lagi “Bagaimana pendapat nenek tentang khalifah kita itu”. Jawab nenek “Semoga Allah tidak memberi ganjaran baik kepadanya”. Umar bertanya lagi ” Mengapa nenek berkata begitu?”.

Jawab nenek “Ia sangat jauh dari rakyatnya. Semenjak menjadi khalifah dia belum pernah menjenguk pondok aku ini apalagi lagi memberi uang”. Jawab Umar “Bagaimana mungkin dia dapat mengetahui keadaan nenek sedangkan tempat ini jauh terpencil” Nenek mengeluh dan berkata “Subhanallah! tidak mungkin seorang khalifah tidak mengetahui akan keadaan rakyatnya walau dimana mereka berada”.

 

Mendengar kata-kata tadi Khalifah Umar tersentak lalu berkata didalam hatinya “Celakalah aku karena semua orang dan nenek ini pun mengetahui perihal diriku”. Saiyidina Umar menyesal sambil meneteskan air mata. Saiyidina Umar berkata lagi “Wahai nenek, berapakah kamu hendak menjual kezaliman Umar terhadap nenek?. Saya kasihan kalau Umar mati nanti akan masuk neraka. Itu pun kalau nenek mau menjualnya”. Kata nenek “Jangan engkau bergurau dengan aku yang sudah tua ini”.

Sambung Umar lagi “Saya tidak bergurau, saya serius, berapakah nenek akan menjualnya. Saya akan menebus dosanya, maukah nenek menerima uang sebanyak 25 dinar sebagai harga kezalimannya terhadap nenek” sambil menyerahkan uang tersebut kepada nenek. “Terima kasih nak, baik benar budi mu” kata nenek sambil mengambil uang tersebut.

 

Sementara itu Saiyidina Ali Abu Talib bersama Abdullah bin Mas’ud terlintas di kawasan itu. Melihat Khalifah Umar berada disitu, mereka pun memberi salam. “Assalamualaikum ya Amirul Mukminin”. mendengar ucapan tersebut, tahulah nenek bahwa tamu yang berbicara denganya tadi adalah Khalifah Umar Al-Khatab. Dengan perasaan takut dan gemetar nenek berkata “Masya Allah, celakalah aku dan ampunilah nenek diatas kelancangan nenek tadi ya Amirul Mukminin. Nenek telah memaki Khalifah Umar dihadapan tuan sendiri”. Rantapan nenek telah menyadarkan Saiyidina Umar.

“Tak mengapa nek, mudah-mudah Allah memberi restu kepada nenek” kata Saiyidina Umar. Ketika itu juga Khalifah Umar telah membuka bajunya dan menulis keterangan berikut diatas bajunya.

“Bismillahirrahmanirrahim, Dengan ini Umar telah menebus dosanya atas kezalimannya terhadap seorang nenek yang merasa dirinya dizalimi oleh Umar, semenjak menjadi khalifah sehingga ditebusnya dosa itu dengan 25 dinar. Dengan ini jika perempuan itu mendakwa Umar di hari Mahsyar, maka Umar sudah bebas dan tidak bersangkut paut lagi”.

Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Saiyidina Ali bin Abu Talib dan di saksikan oleh Abdullah bin Mas’ud. Baju tersebut diserahkan kepada Abdullah bin Mas’ud seraya berkata “Simpanlah baju ini dan jika aku mati masukkan kedalam kain kafanku untuk dibawa menghadap Allah s.w.t.”.

Kisah umar bin Khattab R.A dan wanita pemerah susu




Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

AlKisah Pada zaman pemerintahan Umar bin Khatthab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.

Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.

”Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi,” keluh wanita itu kepada anaknya.

Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, ”Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi.”

”Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?”

”Jangan, Bu!” gadis itu melarang. ”Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati.” 

Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.

”Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!” kata janda itu kepada anaknya. ”Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?”

Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata, ”Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah.”

Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.

Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.

 

Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.


Amr bin Ash dan Gubuk keluarga Yahudi miskin

 



Assalamualaikum warahmatuulahi wabarokatuh

Alkisah setelah tidak lagi bergabung dengan tentara Muslimin, Amr bin Ash dipercaya Khalifah Umar bin Khattab menjadi gubernur Mesir. Menjadi pemimpin umat Islam di sana, serta berdakwah mengajak kepada siapa saja untuk beriman kepada Allah SWT.

Sahabat Amr bin Ash menempati istana megah, lengkap dengan berbagai kenikmatan dan jaminan keamanan pada setiap waktu. Namun kemegahan istananya itu bertolak belakang dengan gubuk kecil dan reyot yang berada tidak jauh dari depan istananya.

Suatu ketika Amr berpikir untuk menggusur gubuk tersebut menggantinya dengan membangun sebuah masjid agung. Hal itu dimaksudkan supaya terjadi keseimbangan antara istana sebagai refleksi dari kehidupan dunia dan masjid sebagai upaya meraih kebahagiaan akhirat.

Kemudian Amr mengumpulkan seluruh pejabatnya untuk membahas kemungkinan pembangunan masjid impiannya. Dalam rapat tersebut, Amr mendapat informasi jika gubuk reyot di depan istananya adalah milik keluarga Yahudi miskin. Informasi tersebut justru semakin menguatkan keinginan Amr untuk segera meletakkan batu pertama pembangunan masjid.

Esok harinya, Amr memanggil orang Yahudi yang mendiami gubuk ke istana. Sesampainya di Istana, Amr kemudian mengutarakan maksudnya ingin membangun masjid di atas tanah tempat gubuk milik orang Yahudi tersebut. Sebagai imbalannya, Amr bersedia membeli tanah dengan harga yang telah disepakati.

Mendengar rencana itu, orang Yahudi tidak menyanggupi permintaan sang gubernur. Dengan lantang dia menolak untuk menyerahkan tanahnya walau dibayar berpuluh kali lipat. Sambil berjalan meninggalkan istana, orang Yahudi tetap pada pendiriannya tidak menyerahkan harta satu-satunya yang dimiliki.

Sebagai gubernur, Amr tidak mengindahkan keputusan orang Yahudi yang tetap pada pendiriannya. Segera Amr menetapkan surat keputusan untuk membongkar paksa gubuk keluarga Yahudi miskin tersebut. Amr beralasan pembongkaran dilakukan untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan yang lebih besar kepada kaum Muslimin Mesir.

Orang Yahudi yang sedang tidur santai di gubuknya kaget begitu melihat dari kejauhan, sejumlah tentara kerajaan berjalan menuju ke arahnya. “Atas perintah gubernur, kami ingin membongkar paksa gubuk kamu untuk dijadikan masjid,” kata salah satu prajurit dengan nada tinggi.

Keluarga Yahudi menangis tanpa henti, tanpa daya dia menyaksikan tempat tinggal satu-satunya yang mereka miliki harus dibongkar. Orang Yahudi membayangkan saat-saat bahagia melihat senyum anggota keluarganya akan berakhir hanya dalam hitungan menit.

Di tengah perasaan sedihnya tersebut, tiba-tiba orang Yahudi teringat akan pemimpin tertinggi umat Islam, Khalifah Umar bin Khattab yang berada di Madinah. Tanpa pikir panjang, segera dia berjalan menuju Madinah untuk meminta keadilan atas keputusan Gubernur Amr.

Namun dalam perjalanan, orang Yahudi berkecil hati ketika membayangkan sosok Umar bin Khattab. Dia pesimis, dirinya yang lusuh dengan pakaian compang-camping akan disambut setibanya di Madinah, terlebih keluhannya didengarkan oleh seorang tokoh besar Muslimin. Dengan perasaan gundah, orang Yahudi tetap berjalan ke Madinah menjajal keberuntungan nasibnya.

Sesampainya di Madinah, semua yang dia takutkan tidak terjadi. Dengan ramah, Khalifah Umar menyambut orang Yahudi layaknya tamu kenegaraan. Suguhan aneka makanan dan minuman menjadi bentuk betapa hormatnya khalifah kepada tamu, meski dirinya menyadari bukan seorang muslim.

Sambil menyantap hidangan, orang Yahudi menceritakan permasalahannya kepada Khalifah Umar. Di akhir pembicaraan, Umar meminta orang Yahudi untuk mengambil sepotong tulang busuk yang berada di tempat sampah tidak jauh dari tempat dia duduk. Dengan keraguan, orang Yahudi menuruti permintaan Umar.

Di tulang busuk itu, Umar kemudian mencabut pedang dari selongsongnya dan menggoreskan garis lurus pada tulang busuk. “Bawalah tulang busuk ini baik-baik ke Mesir dan berikan kepada gubernurmu, Amr bin Ash,” kata Umar sambil menyodorkan tulang busuk tersebut kepada orang Yahudi. Dengan perasaan bingung, orang Yahudi hanya menuruti permintaan Umar kemudian kembali ke Mesir.

Setibanya di Mesir, segera dia menyerahkan tulang busuk itu ke Gubernur Amr. Tidak disangka, setelah memegang tulang busuk tersebut dan melihat goresan lurus, tubuh Amr menggigil dan wajahnya berubah menjadi pucat ketakutan. Segera Amr bin Ash memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan dan merobohkan masjid yang masih dalam tahap pembangunan.

Begitu herannya orang Yahudi, sebelum masjid dirobohkan, segera dia bertanya kepada Amr untuk menjelaskan maksud dari tulang busuk tersebut.

“Tulang itu berisi ancaman khalifah, yakni Amr bin Ash ingatlah kamu, siapapun kamu dan setinggi apapun jabatanmu, suatu saat nanti kamu menjadi tulang yang busuk. Karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang tegak lurus, adil di atas dan adil di bawah. Sebab jika tidak, ku tebas batang lehermu,” kata Amr bin Ash.

Segera orang Yahudi tersebut tertunduk haru, ia kagum akan sikap kepemimpinan Khalifah Umar dan keadilannya yang tidak pandang bulu. Dengan perasaan ikhlas, orang Yahudi tersebut menginfakkan tanahnya untuk dibangun masjid. Tidak lama kemudian, dia beriman dengan menyatakan diri memeluk Islam.


pelajaran yang bisa diambil:

1. setinggi apapun jabatan dan siapapun kita pasti akan menjadi tulang busuk

2. sebagai seorang pemimpin hukumnya wajib berbuat adil kepada rakyatnya walaupun agamanya bukan Islam

3. dengan ajaran Islam yang lemah lembut dan memberikan keadilan siapa saja, banyak yang tertarik kepada agama Islam

Azan Terakhir Bilal


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh

 Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandankan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas. Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi. 

Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?.” Abu Bakar Ra. hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan. 

Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria. Lama Bilal Ra tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal  jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.

Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.” Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Bilal Ra, semenjak Nabi Saw wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan, sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi. Semoga kita dapat merasakan nikmatnya Rindu dan Cinta seperti yang Allah karuniakan kepada Sahabat Bilal bin Rabah Ra. Aamiin


pelajaran yang bisa diambil:
1. bawalah kebaikan apa saja yang kamu bisa, karena dengan kebaikan itu orang akan mendapatkan manfaatnya.
2. begitu mulianya Rasulullah dan jasa-jasanya sampai-sampai banyak orang yang belum siap menerima kepergiannya.

RASULULLAH DAN PENGEMIS YAHUDI BUTA




Bismillahirrahmaniirahim

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Alkisah di sudut pasar Madinah Al-Munawarah ada seorang pengemis Yahudi buta. Setiap hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata ”Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.

 Setiap pagi Rasulullah SAW mendatangi pengemjs itu dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya dengan lembut kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.


Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

 

Suatu hari Abu Bakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, ”anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”, Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, ”Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. ”Apakah Itu?”, tanya Abu Bakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah r.ha.

 

Keesokan harinya Abu Bakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abu Bakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, ”siapakah kamu ?”. Abu Bakar r.a menjawab, ”aku orang yang biasa”. ”Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

 

Abu Bakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia malah tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya menyesal dan bersyahadat dihadapan Abu Bakar r.a.


Pelajaran yang dapat diambil adalah

1. Jangan berprasangka buruk kepada orang lain sebelum kita tahu kondisi sesungguhnya

2. Kadang kita membenci seseorang padahal dia selama ini berbuat baik kepada kita

3. Orang yang hatinya mulia, tetap berbuat baik walaupun ia sering disakiti